Adit
(5 tahun) asyik menonton film kartun yang ditayangkan sebuah stasiun
televisi. Ketika si "jagoan" di film itu berhasil memukul lawannya
sampai terkapar, balita itu bersorak senang, sementara pengasuh yang
mendampinginya, sibuk menulis layanan pesan singkat (sms).
Setiap
hari berbagai stasiun televisi menanyangkan film dan sinetron yang penuh
dengan adegan kekerasan dan mistik, juga liputan bencana alam,
kerusuhan, aksi teroris, penculikan, kriminalitas atau kejahatan
mengerikan yang ditonton oleh keluarga termasuk anak-anak.
Hasil
kajian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, misalnya mencatat,
rata-rata anak usia sekolah dasar menonton televisi antara 30-35 jam
setiap minggu.
Artinya pada hari-hari biasa mereka menonton
tayangan televisi lebih dari 4-5 jam sehari. Sementara di hari Minggu
bisa 7-8 jam. Jika rata-rata empat jam sehari, berarti setahun sekitar
1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SLTA.
Padahal
waktu yang dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai SLTA hanya 13.000
jam. Ini berarti anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton
televisi daripada untuk kegiatan apa pun, kecuali tidur.
Lebih parah lagi, kebanyakan orangtua tidak menyadari dampak kebebasan media yang kurang baik terhadap anak-anak.
Indikasi
demikian terlihat dari tidak diawasinya anak-anak dengan baik saat
menonton televisi meski di layar diterakan kata-kata dengan bimbingan
orangtua (BO), dewasa (DW) dan remaja (R).
Memang tidak semua
program televisi berdampak buruk bagi anak-anak. Ada juga tayangan yang
punya sisi baik, misalnya acara pendidikan.
Banyak informasi bisa
diserap dari televisi yang tidak didapat dari tempat lain. Namun, di
sisi lain banyak juga acara televisi yang bisa berdampak buruk terhadap
anak-anak.
Hasil penelitian menyimpulkan, sebagai media audio
visual, televisi mampu merebut 94 persen saluran masuknya pesan-pesan
atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga.
TV
mampu membuat orang pada umumnya mengingat 50 persen dari apa yang
mereka lihat dan dengar di layar, walaupun hanya sekali ditayangkan.
Pada
anak-anak yang umumnya selalu meniru apa yang mereka lihat, tidak
tertutup kemungkinan perilaku dan sikap mereka akan meniru kekerasan
yang ditayangkan di televisi yang mereka tonton.
Tampaknya pesan
jelas bagi para orang tua yang disampaikan Dewan Media Anak-anak
Australia (ACCM) patut dicontoh - matikan televisi yang menayangkan
berita kekerasan/bencana secara terus menerus.
Dewan itu
mengingatkan para orang tua bahwa anak-anak dapat menjadi sangat cemas
dan tertekan jika mereka berulang kali menonton beberapa cuplikan
dramatis yang ditampilkan di televisi dan program berita terkini.
Menurut
Rita Princi, psikolog anak dan anggota ACCM, anak-anak terutama di
bawah usia 10 tahun, sangat rentan terhadap rekaman yang mereka lihat
dan cerita yang mereka dengar.
"Sehubungan dengan tayangan tentang
bencana alam yang banyak terjadi, dapat dimengerti bahwa anak-anak
mulai merasa tidak aman. Sudah saatnya bagi orangtua untuk mematikan
televisi untuk anak-anak," katanya.
Orang tua menurut dia, adalah orang dewasa dan perlu membuat pilihan tepat untuk memastikan anak-anak mereka merasa aman.
"Kita
bertanggung jawab agar anak-anak tidak dibombardir dengan informasi
terus-menerus bahwa dunia adalah tempat yang tidak aman. Gempa bumi,
tsunami dan banjir bukan satu-satunya yang terjadi di dunia ini,"
katanya.
Menurut seorang pengamat anak-anak Dra. Mazdalifah, Ph.D,
tayangan kekerasan adalah yang menampilkan adegan kekerasan dari
tingkat ringan seperti kata-kata kasar, makian, cacian, sampai ke
tingkat berat seperti adegan membunuh.
Hampir semua stasiun televisi di Indonesia menampilkan adegan kekerasan sebagai menu utamanya.
Anak-anak meniru
Hasil
pengamatan Mazdalifah menunjukkan anak-anak balita telah melakukan
beberapa peniruan terhadap apa yang telah mereka tonton di televisi.
Hal itu mereka lakukan, karena hampir setiap hari menyaksikan bermacam adegan, termasuk di dalamnya kekerasan.
"Saat
ini banyak stasiun televisi yang menayangkan sinetron, pada jam utama
yang banyak bermuatan kekerasan, baik dalam bentuk kekerasan ringan
seperti, ucapan kasar maupun kkerasan berat seperti tindakan membunuh,"
katanya.
Secara sederhana, katanya, bentuk peniruan yang dilakukan anak-anak adalah ucapan kasar dalam permainan dengan teman sebaya.
Atau
mereka menendang, memukul, mendorong, saat bermain dengan temannya.
Televisi mendorong anak meniru dan melakukan tindakan menyerang.
Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan
sangat banyak adegan yang tak pantas dilihat anak-anak itu dalam
berbagai sinetron, berita atau tayangan reka ulang kasus pembunuhan yang
ditayangkan televisi.
Banyak orangtua yang datang ke Komnas PA
dengan kasus anaknya mencoba bunuh diri mengatakan, anak-anaknya sering
nonton berbagai tayangan kekerasan di televisi tanpa pengawasan atau
bimbingan orangtua.
"Padahal, anak-anak kan belum bisa menilai
mana yang baik dan buruk. Ibaratnya mereka itu seperti kertas putih yang
bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mulai faktor keluarga dan
lingkungan," ujarnya.
Komnas PA juga menyebutkan, berdasarkan
penelitian dari tahun 2006 hingga akhir 2009, terungkap sebanyak 68
persen tayangan di 13 stasiun televisi mayoritas mengandung kekerasan.
"Tidak
ada pilihan (tayangan) buat anak. KPI lemah karena mandatnya lemah.
Dia hanya bisa memberi sanksi administrasi," katanya.
Memang
televisi bisa berdampak kurang baik bagi anak-anak, tetapi melarang
mereka sepenuhnya untuk menonton televisi juga tidak tepat.Yang lebih
bijaksana menurut Ketua Komnas PA adalah mengontrol tayangan televisi
bagi anak-anak.
"Setidaknya anak-anak diberi pemahaman tayangan
mana yang bisa mereka tonton dan mana yang tidak boleh. Orangtua perlu
mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi. Selain membangun
komunikasi dengan anak, hal ini bisa mengurangi dampak negatif televisi
bagi anak. Kebiasaan secara sehat ini mesti dimulai sejak usia dini,"
katanya.
Di lain pihak, pengelola program tayangan televisi pun
punya tanggungjawab untuk melakukan penyaringan acara-acara yang
seronok, apalagi tayangan-tayangan iklan dengan menampilkan kemulusan
kulit perempuan yang bisa disebut 70 persen sudah telanjang.
Tentang
kewenangan KPI yang katanya berperan sebagai lembaga pengontrol program
tayangan televisi, dia mempertanyakan sudah seberapa banyak tayangan
televisi yang berhasil dihentikan karena tidak sesuai dengan aturan dan
budaya Indonesia.
Pakar komunikasi Undip Triyono Lukmantoro
mengatakan, aksi kekerasan yang ditayangkan di televisi sebaiknya jangan
dipertontonkan secara eksesif.
Dia mendukung langkah Dewan Pers yang kemudian meminta stasiun-stasiun televisi untuk menstop menyiarkan peristiwa kekerasan.
"Media
televisi memiliki kekuatan visualisasi luar biasa yang bisa memengaruhi
penonton untuk meniru apa yang ditayangkan. Apalagi, jika penontonnya
adalah kalangan anak-anak," katanya.
Menyikapi tayangan aksi
kekerasan di televisi, dia berpendapat, seharusnya yang paling berperan
aktif adalah KPI atau KPID. Mereka harus bersikap ketika melihat
televisi yang eksesif menyiarkan aksi kekerasan.
Pendapat Triyono
agaknya patut disimak, KPI dan KPID harus lebih responsif dalam
mengawasi program siaran lembaga penyiaran dan jangan menunggu pengaduan
dari masyarakat, sekaligus mengantisipasi ditayangkannya aksi kekerasan
secara eksesif.
Ke depan, perlu ada pengawasan lebih ketat terhadap tayangan televisi, terutama yang berbau kekerasan dan seksualitas.
Source